Sinestesia: Kritik dan Emosi
Album Sinestesia
Sinestesia merupakan album ketiga dari ERK setelah sekian lama mereka vakum dan tidak mengeluarkan album kembali. Sebelum Sinestesia dirilis pada 18 Desember 2015, album sebelumnya yaitu Kamar Gelap dirilis pada 2008, jaraknya adalah tujuh tahun. Album ini diisi oleh enam buah lagu dengan judul memakai nama warna antara lain yaitu: (1) Merah; (2) Biru; (3) Jingga; (4) Hijau; (5) Putih; dan (6) Kuning. Uniknya lagu-lagu tersebut memiliki durasi yang cukup panjang untuk sebuah lagu pada umumnya. Jika umumnya lagu memiliki durasi dari 2 – 5 menit, justru lagu-lagu pada album Sinestesia ini memiliki durasi paling cepat 7 menit 46 detik (Hijau) dan paling lama 13 menit 28 detik (Jingga). Masing-masing dari lagu tersebut tentunya mempunyai makna tersendiri dari judulnya dan juga mempunyai tema yang tidak biasa untuk diangkat dalam sebuah lagu.
Sinestesia merupakan istilah yang digunakan pada album ketiga karya ERK untuk melambangkan warna sebagai ungkapan perasaan. Setiap penamaan lagu dari album Sinestesia tentunya memiliki makna dan motif tersendiri. Dalam KBBI, sinestesia diartikan sebagai metafora berupa ungkapan yang bersangkutan dengan indera yang dipakai untuk objek atau konsep tertentu. Misalkan saja ketika kita menggunakan kata ‘pahit’ untuk rasa dari kopi. Tetapi kata ‘pahit’ juga digunakan untuk menggambarkan kesusahan atau hal buruk dalam hidup pada kalimat “pengalaman ini sangat pahit bagi saya”, itulah sinestesia.
Pemberian nama-nama warna pada judul lagu yang ada dalam album Sinestesia tentunya memiliki pertimbangan tersendiri. Terdapat teori tentang jenis-jenis warna. Ada warna primer, sekunder, tersier, dan natural. ERK menyematkan penamaan warna pada lagunya dengan warna primer yaitu Merah, Biru, dan Kuning. Kemudian terdapat warna sekunder yaitu Hijau dan Jingga. Warna-warna dalam album Sinestesia juga tampaknya merepresentasikan warna-warna pada pelangi. Lalu bagaimana dengan putih? Putih dalam teori tentang warna tidaklah dapat disebut warna. Putih merupakan titik kecerahan tertinggi. Berbeda dengan hitam yang merupakan ketiadaan akan cahaya. Putih pada umumnya melambangkan sebuah kesucian dan kenihilan.
Keunikan album Sinestesia yang lagu-lagunya berdurasi panjang sempat dikomentari oleh seniman, Riyan Riyadi (The Popo). Dia berkomentar bahwa “Siapkan energi pendengaran dan emosi yang tak tertahan. Lagu-lagu di dalam album ini cukup panjang, bisa menimbulkan kebosanan dan melelahkan atau menimbulkan rasa penasaran” (Dass, 2015). Sepertinya hal itu merupakan peringatan.
Memang kebosanan akan terjadi bagi mereka yang tidak terlalu ingin mendengarkan lagu dengan tema yang tak sesuai dengan emosi sehari-harinya. Tentunya lagu-lagu dalam Sinestesia ini memiliki makna mendalam dan kritis terhadap apa yang sedang terjadi di Indonesia. Tampaknya hal itu tidak cocok dengan mereka yang hanya ingin mendengar musik untuk mengubah mood.
Dalam proses pengerjaannya, sebenarnya album Sinestesia ini sudah dibuat dari tahun 2010 dan rencana akan dirilis pada 2011. Namun Sinestesia belum pernah selesai dan terus mengalami pengunduran jadwal rilis hingga akhirnya secara resmi rilis pada Desember 2015 dengan versi penuhnya. Hal tersebut dikarenakan kesehatan Adrian yang menurun dan juga Cholil yang mesti pergi ke Amerika untuk melanjutkan studinya. Band ini sempat vakum dalam 1 tahun.
Sebelumnya memang lagu-lagu dari Sinestesia ini dirilis secara terpisah dan belum berbentuk selengkap saat ini. Durasi dari lagu-lagunya pun tak sepanjang Sinestesia 2015. Lagu seperti “Pasar Bisa Diciptakan” dan “Cipta Bisa Dipasarkan” nantinya akan masuk dalam lagu “Biru”. Bisa dibilang bahwa Biru adalah gabungan dari dua lagu tersebut. lagu-lagu yang ada pada sinestesia juga merupakan lagu yang terbagi menjadi dua bagian bahkan tiga bagian – yang ketiganya berupa instrumen. Hal itulah yang membuat durasi lagu-lagu pada album sinestesia panjang. Tentunya menarik jika kita menelisik lirik-lirik lagu yang ada dengan durasi yang panjang tersebut.
Sinestesia merupakan istilah yang digunakan pada album ketiga karya ERK untuk melambangkan warna sebagai ungkapan perasaan. Setiap penamaan lagu dari album Sinestesia tentunya memiliki makna dan motif tersendiri. Dalam KBBI, sinestesia diartikan sebagai metafora berupa ungkapan yang bersangkutan dengan indera yang dipakai untuk objek atau konsep tertentu. Misalkan saja ketika kita menggunakan kata ‘pahit’ untuk rasa dari kopi. Tetapi kata ‘pahit’ juga digunakan untuk menggambarkan kesusahan atau hal buruk dalam hidup pada kalimat “pengalaman ini sangat pahit bagi saya”, itulah sinestesia.
Lagu pada Album Sinestesia
Lirik merupakan sajak yang disusun untuk menjadi sebuah nyanyian. Jika lirik merupakan sajak, maka lirik adalah sebuah karya sastra. Pada sebuah karya sastra tentunya terdapat ungkapan emosi atau curahan isi hati pribadi yang dilukiskan dengan karya sastra tersebut (Sudjiman, 1993: 47 dalam Uryantantra, 2017: 1). Hal itu juga terdapat dalam lirik yang ada pada lagu-lagu di album Sinestesia. Penamaan lagu berdasarkan warna merupakan ungkapan dari lagu tersebut yang menurut ERK dapat melambangkan warna tersebut. Tema dan isu yang diangkat pada lagu-lagu album Sinestesia perlu diketahui maknanya sehingga permasalahan Indonesia – dari kacamata ERK – dapat terlihat. berikut ulasan singkat mengenai lagu-lagu yang ada pada album Sinestesia.
1. Merah
Merah identik dengan ungkapan kemarahan. Mungkin inilah yang ingin diungkapkan ERK dalam lagu Merah. Musiknya yang agak keras selaras dengan liriknya yang merupakan sindiran untuk kondisi perpolitikan di Indonesia. Pada lagu Merah kita dapat melihat beberapa permasalahan seperti kondisi politik, pilihan politik. Berbagai permasalahan politik Indonesia diangkat dalam lagu ini yaitu berupa para politisi yang selalu bermain aman demi suara.
Masyarakat Indonesia dikritik oleh ERK karena terlalu mudah dibuai oleh para politisi. Segala hal kini selalu berhubungan dengan politik seperti daging sapi, olahraga, dan agama. Semuanya demi motif politik yang dilakukan oleh para politisi. Masyarakat yang mudah dibuai oleh para politisi membuat keadaan Indonesia memburuk. Hukum tunduk pada politik, ekonomi memburuh karena kita tidak kritis. Fenomena orang gila dari para politisi yang gagal juga disebut dalam lagu ini.
Semua permasalahan politik Indonesia dan para masyarakat yang terlalu manis terhadap politisi membuat kondisi Indonesia memburuk. ERK ingin menyadarkan para pendengar akan kondisi ini dan mengimbau untuk selalu kritis dalam berpolitik.
2. Biru
Pada lagu Biru ini, ERK mengangkat perihal tren pasar yang monoton. ERK sepertinya menyinggung industri musik Indonesia yang selalu menghasilkan karya-karya yang begitu-begitu saja. Biru ini adalah lagu gabungan dari “Pasar Bisa Diciptakan” dan “Cipta Bisa Dipasarkan”
Inti dari pesan lagu Biru sebenarnya tidak jauh-jauh dari pesan yang disampaikan oleh dua lagu tersebut. Pada Lagu Biru terdapat pesan bahwa genre-genre yang ditawarkan band indie dapat diterima. Sebuah karya yang dibuat dari perasaan yang mendalam walaupun dengan tema yang tidak normal sebenarnya dapat dipasarkan. Karya yang ingin dipasarkan tidak perlu ditakutkan untuk dirilis. Sebuah karya punya nilai tersendiri apalagi jika dibuat untuk merepresentasikan peradaban dengan kritik yang ada.
Sebuah pesan kuat dari ERK untuk industri musik Indonesia dan para musisinya yang takut mengeluarkan karya anti-mainstream. ERK memberikan pendapatnya bahwa pasar bisa diciptakan dan cipta (karya) bisa dipasarkan.
3. Kuning
Kondisi Indonesia yang saat ini memiliki permasalahan dalam menyikapi keberagaman dirasa cocok untuk dideskripsikan oleh lagu ini. Kuning digunakan ERK sebagai lambang dari kebudayaan dan keragaman. Pada lagu ini ERK membawa isu keragaman dan juga toleransi beragama. Pada lagu ini banyak menyinggung soal ketidakharmonisan terjadi. ERK pada lagu ini seakan ingin mengemukakan tentang keberagaman yang seharusnya dijaga.
Isu keagamaan yang disalahgunakan oleh para pelaku kebencian terhadap perbedaan digambarkan pada lagu ini. Terusik pada keramaian yang diibaratkan merupakan keberagaman, terjadi pada para penganut ekstrimisme dalam agama. Salah mengartikan agama dan konsepsi Tuhan terhadap perbedaan disinggung dalam lagu ini. Seakan dijelaskan pada lagu ini, salah pengertian tentang perbedaan melahirkan sebuah kekeruhan hati. Salah satu penggalan lirik dari Kuning, “..demi akhirat, akalnya lenyap..” merepresentasikan para ekstrimis agama yang terobsesi pada akhirat dan tidak memakai akalnya dalam bertindak.
Pandangan ERK tentang pluralitas digambarkan pada lagu ini. Selain itu pada Kuning memberi pesan bahwa keberagaman adalah hal yang patut dihargai dan bukan menjadi masalah. Isu keberagaman etnis dan agama seakan begitu penting diangkat bagi ERK.
4. Hijau
ERK membawa tema lingkungan dan politik pada lagu ini. Hijau yang melambangkan sebuah kondisi yang rindang dan natural. Pada lagu ini ERK ingin menyelipkan pesan-pesannya tentang lingkungan sekaligus menyinggung politik.
Lirik pada bagian pertama Hijau begitu keras menghantam isu ujaran kebencian dan juga politisi yang bermain kata-kata dalam kehidupan perpolitikannya. Sebuah kondisi yang mengenyampingkan kepedulian terhadap lingkungan juga coba diangkat oleh ERK dalam lagu Hijau ini.
Bagian kedua lagu ini mencoba mengedukasi pendengar bagaimana pengolahan sampah yang baik sambil menyinggung kondisi demokrasi di Indonesia. Limbah, sampah yang dihasilkan manusia diibaratkan sebagai sebuah statement yang juga kita konsumsi sehari-harinya dalam dunia informasi. Kedua bagian seakan memberikan korelasi bahwa ketidakpedulian politisi akan lingkungan juga membawa dampak pada lingkungan.
5. Jingga
Sebelumnya ERK membuat lagu berjudul “Di Atas Udara” yang menyinggung soal kematian Munir – aktivis HAM yang meninggal dalam misi penyelidikan kasus HAM rezim Orba. Pada lagu jingga ini ERK mengangkat kasus hilangnya orang-orang pada masa pemerintahan Orde Baru. Jingga menjadi representasi isi lagu tersebut yang seakan melambangkan ada hal yang belum selesai.
Isu hilangnya orang-orang pada masa rezim Orde Baru diangkat pada lagu ini. Kasus hilangnya beberapa nama yang diangkat pada lagu ini merupakan sederet kasus HAM yang kini belum terselesaikan. Hari Kamis yang diangkat pada lagu tersebut dimaksudkan sebagai Aksi Kamisan yang menuntut kejelasan para korban hilang yang belum terselesaikan saat ini. Kerinduan para keluarga korban hilang diangkat dalam lagu ini. Sesuai dengan warna yang diusung, Jingga yang identik dengan senja yang melambangkan harapan akan penyelesaian kasus tersebut.
6. Putih
Saya menilai ini adalah sebuah lagu religi dikarenakan bercerita soal kematian dan kehidupan. Putih yang dapat dilambangkan sebagai sebuah ketiadaan dan suatu hal yang suci dapat dilambangkan kepada suatu kelahiran. Putih juga bisa dimaknai dalam kematian, karena setelah kematian urusan-urusan dunia kita hilang dan akan menuju tempat yang suci. Keduanya, yaitu kematian dan kelahiran dibawa pada lagu Putih ini.
Jika kita telisik, lirik pada lagu Putih sangat kental akan pesan-pesan akan perjalanan kematian dan juga kelahiran generasi baru. Wijhi Tukul dimunculkan dalam lagu ini dengan kata-katanya. Uniknya pada lagu ini ERK menawarkan sudut pandang pertama bagi orang yang meninggal. Sejatinya pada bagian pertama lagu tersebut ditujukan untuk kawan dari ERK yaitu Adi Amir Zainun yang membantu dalam produksi Sinestesia namun meninggal dalam ditengah produksinya.
Pada lirik-liriknya ada ungkapan emosi yang tuangkan dengan sudut pandang orang pertama. Tenang, damai setelah kematian itu yang diinginkan semua orang. Terlepas dari semua hal-hal dunia yang merepotkan. Di samping semua itu terdapat kelahiran bagi generasi baru yang memegang harapan para pendahulunya. Kondisi beberapa personel ERK yang istrinya melahirkan anak turut memberikan inspirasi untuk membuat lagu Putih. Musik yang dimainkan dalam lagu ini juga sejalan dengan temanya, kedamaian dan harapan.
Perkembangan dan Tantangan Musisi Indie
ERK sebagai salah satu band indie di Indonesia terbilang cukup sukses dalam mempertahankan eksistensinya. Hal itu tidak terlepas dari karya-karya unik yang ditawarkan ERK pada pecinta musik tanah air. Tema-tema yang jarang diangkat dalam aliran musik umumnya di Indonesia menjadi suatu hal yang menarik perhatian khalayak terhadap ERK. Band ERK berhasil mempertahankan eksistensinya dari tahun 2001 sampai saat ini – walaupun sempat vakum beberapa kali. Berarti ERK sudah eksis selama 19 tahun dengan karya-karyanya yang anti-mainstream. Hal itu merupakan pencapaian luar biasa bagi band indie.
Kini industri musik Indonesia sedang memasuki era baru dalam sebuah tren populer. Mayor label dan karya mainstreamnya tidak lagi menjadi tawaran menarik bagi pecinta musik saat ini. Zaman yang terus berkembang mendorong berbagai selera muncul dan digandrungi. Meningkatnya jumlah musisi beserta karya musiknya dari berbagai genre musik turut mengikuti fenomena kebangkitan pergerakan scene subsektor industri musik independen (Dellyana, 2015: 18). Hal tersebut juga didukung oleh media digital yang membuat musisi indie menjadi populer di masyarakat luas, yang akhirnya membuahkan kesuksesan bagi indie itu sendiri. Hal itu tentunya menjadi sebuah tantangan untuk mempertahankan eksistensi bagi para pemusik indie, terutama ERK untuk bersaing dengan banyaknya musisi indie lain ditambah musisi dari aliran mainstream.
Referensi
A., Silvia. Analisis Teori Strukturalisme Konstruktivis Pierre Bourdieu dalam Perlawanan Kelompok Musik Efek Rumah Kaca Terhadap Arus Utama (Mainstream): Lirik Lagu, Industri, dan Negara. Depok: Universitas Indonesia, 2011.
Akbar, M. Taufik, Lucy P. S., dan Agus Aprianti. “Analisis Hermeneutika Teks Lagu ‘Pasar Bisa Diciptakan’ Karya Efek Rumah Kaca”. E-Proceeding of Management 3 (2016): 3691 – 3698.
Astuti, Nurul F. Vidi. “Sinestesia: Warna-warni Penuh Arti”. Suara Mahasiswa. http://suaramahasiswa.com/sinestesia-warna-warni-penuh-arti/ (23 Juni 2018)
Dass, Felix. “Efek Rumah Kaca Kembali dengan Sinestesia”. Felix Dass. http://felixdass.com/2015/12/21/sinestesia/ (23 Juni 2018)
Dellyana, Dana, dkk. Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Industri Musik Indonesia 2015 – 2019. Jakarta: PT. Republik Solusi, 2015.
Efek Rumah Kaca, http://efekrumahkaca.net/ (22 Juni 2018)
Fikri, Mochamad Aidin. Manipulasi Hubungan Kepentingan Menjadi Hubungan Sentiment. Depok: Universitas Indonesia, 2011.
Kirana, Intan. “Sinestesia: Permainan Warna oleh Efek Rumah Kaca”. Apaya.co. http://apaya.co/musik/sinestesia-warna-efek-rumah-kaca/ (22 Juni 2018)
Mubarok, Fahmi. Analisis Wacana Kritik Sosial pada Album Efek Rumah Kaca Karya Band Efek Rumah Kaca. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013.
Permana, Tri Bagus. Kritik Sosial dalam Lirik Lagu Band Efek Rumah Kaca Kajian Sosiologi Sastra. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 2014.
Sumahar, Muarif Pebriansah. “Analisis Wacana Dominasi Major Label pada Industri Musik Indonesia dari Band Efek Rumah Kaca”, Jurnal Online UNAIR 1 (2017): 1 – 7.
Uryatantra, Hangga. Gaya Bahasa dan Makna dalam Lirik Lagu Band Efek Rumah Kaca Album Sinestesia (Kajian Stilistika). Semarang: Universitas Diponegoro, 2017.
Komentar
Posting Komentar