Politik Isolasi Jepang Pada Masa Pemerintahan Tokugawa

Setelah meninggalnya Toyotomi Hideyoshi terjadi pertentangan tentang siapa yang berhak meneruskan kekuasaan Hideyoshi di antara para daimyo yang ada. Para Daimyo terpecah menjadi dua kubu yaitu yang mendukung Tokugawa Ieyasu dan Mori Terumoto. Tokugawa Ieyasu akhirnya berhasil mengalahkan saingannya dan kemenangannya di pertempuran Sekigahara pada 1600 memastikan kemenangannya atas penguasaan di Jepang. Semenjak itulah dimulai masa pemerintahan Tokugawa di Jepang. Walaupun nantinya Ieyasu sampai tahun 1615 baru berhasil mengalahkan semua lawannya. Setelah Tokugawa Ieyasu diangkat menjadi Shogun pada 1603, pusat pemerintahan, politik, dan militer Jepang dipindahkan ke Edo (Tokyo). Sampai tahun 1867 pemerintahan Tokugawa sudah berkuasa 15 orang keluarga Tokugawa sebagai shogun yaitu Ieyasu (pendiri kekuasaan Tokugawa), Hidetori, Iemitsu, Ietsuma, Tsumayoshi, Ienobu, Ietsogu, Yoshimune, Ieshige, Ieharu, Ienari, Ieyoshi, Iesada, Iemochi dan yang terakhir adalah Yoshinobu.

Pemerintahan Tokugawa saat itu beranggapan bahwa perlu diberlakukan kebijakan isolasi agar terciptanya keamanan dan stabilitas di seluruh Jepang.  Jepang mengalami peperangan feodal yang memberikan kesempatan Tokugawa mengambil alih kekuasaan. Menurut Tokugawa dengan didukung oleh penasehat shogun perlu dilakukan kebijakan politik isolasi. Adanya kontak yang berlebihan dengan bangsa luar mengakibatkan senjata yang dapat diperoleh dengan mudah. Ketika Jepang mengalami masa tenangnya, dikhawatirkan senjatan-senjata yang diimpor dan kemudian dibuat di Jepang tersebut justru membawa ancaman kembali bagi stabilitas Jepang. Selain itu adanya senjata-senjata impor tersebut menodai kedudukan dan martabat yang disimbolkan oleh pedang milik para golongan Samurai.

Pada abad ke-17 Jepang mengalami proses masuknya agama Kristen. Beberapa penguasa feodal beragama Katolik yang penyebarannya seabad sebelumnya sudah datang ke Jepang melalui orang Portugis. Penguasa feodal beragama Katolik tersebut menunjukkan adanya upaya subversi karena pengaruh luar. Pada 1937 terdapat pemberontakan di Jepang Selatan menunjukkan adanya unsur-unsur Kristen. Pemerintahan Tokugawa akhirnya memberikan perintah bagi seluruh penguasa feodal untuk menghapuskan pemberontakan tersebut. Semenjak itu agama Kristen dilarang selama masa pemerintahan Tokugawa. Hal itu juga menjadi penguat alasan pemerintahan Tokugawa melaksanakan kebijakan isolasi.

Pada tahun 1630 pemeritahan Tokugawa akhirnya mengesahkan kebijakan politik isolasi atau dalam bahasa Jepang disebut sakoku. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga stabilitas dan kekuasan pemerintahan Tokugawa. Rakyat Jepang tidak diperbolehkan pergi keluar negeri. Semenjak itu Jepang menutup diri dari hubungan luar negerinya. Hanya pulau Deshima, di Nagasaki yang diperbolehkan berhubungan dengan bangsa asing di luar Jepang. Hanya Cina dan Belanda yang diberikan izin untuk berdagang di pulau Deshima. Merekapun diawasi sangat ketat pergerakannya khususnya Belanda. Pemerintah Tokugawa setelah mengusir Katolik Portugal mengawasi ketat orang Belanda Protestan karena takut akan pengaruh buruknya (Jansen, 1983:13). Nagasaki ketika itu menjadi tempat satu-satunya dilakukan kontak dengan bangsa luar yang juga di jaga ketat oleh shogun. Pemerintahan Tokugawa mendapatkan keuntungan karena hanya mereka yang mengetahui berbagai informasi dari luar negeri dan juga hasil dari perdagangan dengan bangsa luar yang nantinya akan memperkuat mereka menguasai para daimyo.

Pulau Deshima, Nagasaki
Sumber: dreamofacity.com

Selama masa kebijakan politik isolasi Jepang yaitu kurang lebih 2 abad lamanya Jepang mengalami stabilitas dan keamanan yang tinggi. Hal itu berdampak pada fungsi Samurai yang tidak lagi efektif karena kurangnya permasalahan militer. Golongan Samurai selama masa damai mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Hal itu dikarenakan masa damai membuat fungsi mereka sebagai militer tak lagi berjalan efektif. Masa damai juga membuat golongan Samurai yang dulu bersifat suka bertengkar menjadi golongan yang lebih bertanggungjawab dan bergaya sipil (Jansen, 1993:13). Sebagian dari golongan Samurai juga mendalami ilmu pengetahuan dari pedagang Belanda yang berada di Nagasaki. Nantinya para golongan Samurai itu mempelopori terjadinya Restorasi Meiji. Masyarakat Jepang selama masa damai tersebut juga mendalami ilmu pengetahuan dan juga pendidikan meningkat dilihat dari kemampuan baca tulis mereka. Masa damai ini yang seakan menjadi pembekalan bangsa Jepang dalam menghadapi arus globalisasi dalam modernisasi nantinya. Kita dapat melihat hal tersebut kini masyarakat Jepang berhasil menanamkan nilai-nilai kepribadiannya dan tidak tergerus oleh arus globalisasi. Kebijakan politik isolasi ini nantinya akan berakhir setelah kedatangan Komondor Perry pada 1853 yang memaksa Jepang untuk membuka dirinya pada dunia luar.

Oleh Ahmad Zainudin
Jakarta-Depok, 2017

Sumber:

A., Teguh. Pengaruh  Restorasi Meiji Terhadap Eksistensi Samurai Kelas Samurai. Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2013.

Dewi, Dyah Pramesti Shinta. Keterlibatan Han Chosu dalam Restorasi Meiji. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996.

Kartika, Diana. Revolusi Industri pada Zaman Meiji. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1991.

Maris, Masri. Eds. Jepang Selama Dua Abad Perubahan terj. dr. Marius B. Jansen. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.

Nugroho, Erytreeanto Adi. Han Chooshuu: Peranan dan Perjuangannya dalam Restorasi Meiji. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2002.

Suryohadiprojo, Sayidiman. Belajar dari Jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: UI Press, 1987.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dakwah Islam di Indonesia dan Dakwah Era Kemerdekaan

Sejarah Flu Burung di Dunia