Sejarah Kota Padang

Kota Padang merupakan ibu kota sekaligus kota terbesar yang ada di provinsi Sumatera Barat. Sejarah kota Padang dibahas dalam buku berjudul Padang Riwayatmu Dulu karya Rusli Amran. Buku tersebut disusun di tengah-tengah pencarian hari jadi kota Padang walaupun penulisnya tidak menganggap buku itu sebagai buku sejarah. Rusli Amran menulis buku tentang sejarah kota Padang dikarenakan keprihatinannya akan sedikit sekali data tertulis tentang kota Padang pada masa lampau. Sebuah karya tulis tentang sejarah kota Padang menurutnya akan mampu memperjelas pengetahuan tentang identitas kota Padang. Buku tersebut berisi tentang kondisi lingkungan dan perkotaan, orang Indo, kriminalitas, dihapusnya jabatan regen, raja terakhir, jabatan di kota Padang dan masyarakat Jawa di Padang.


Kondisi Padang Dahulu

Kota Padang memiliki letak strategis di pantai barat Sumatera. Letaknya di sekitar muara Batang Arau. Bangunan-bangunan banyak terdapat di sekitar muara tersebut. Selain itu juga terdapat banyak bangunan di pinggir laut. Pelabuhan Teluk Bayur adalah pelabuhan terkenal di kota Padang. Sebelum pelabuhan tersebut dibuka, kapal-kapal berlabuh di sebelah timur Pulau Pisang Gadang. Sejak dahulu memang kota Padang dikenal sebagai kota metropolitan. Letaknya cukup strategis untuk keluar-masuknya kapal-kapal dari luar. Belanda mulai mendiami kota Padang pada awal abad ke-7. Karena kota Padang dinilai mempunyai fungsi yang besar untuk kekuasaan Belanda di Sumatera, pembangunan pun dilakukan oleh Belanda di kota tersebut.

Kota Padang dikenal juga sebagai pusat militer Belanda di Pulau Sumatera. Fungsinya semakin besar saat perang dengan Aceh berlangsung. Sebagai pusat militer, kota Padang dijadikan tumpuan untuk bertahan maupun memperluas daerah kekuasaannya di Pulau Sumatera. VOC membangun benteng-benteng dan menempatkan meriam-meriam untuk bertahan dari serangan Aceh. Kegiatan dagang yang cukup ramai di pelabuhan cukup menjadi alasan VOC ingin mempertahankan kota tersebut.

Bangunan-bangunan dan tempat-tempat seperti pemakaman, gudang, sekolah, bank, kantor dan lain sebagainya ikut dibangun juga oleh Belanda di kota Padang. Pada 1871 ditemukan tambang batubara di Uluair oleh Ir. De Greve , daerah tambangnya lebih dikenal sebagai pertambangan Sawahlunto. Pembangunan jalur kereta api juga dilakukan oleh Belanda. Jalur tersebut terhubung dengan pelabuhan Telukbayur. Pelabuhan Telukbayur sendiri baru dibuka pada tahun 1892. Pembangunannya dimulai berbarengan dengan pembangunan jalan kereta api yang dimulai tahun 1887.  Dengan dibangunnya jalur kereta api tersebut menunjang aktivitas di kota Padang sebagai kota “metropolitan” pada masanya.

Indo di Kota Padang

Orang Indo di Padang yang dibahas dalam buku ini bukan saja soal keturunan campuran (indo-eropa), tetapi juga orang Eropa asli yang menenetap di Padang.  Mereka mempunyai komunitas tersendiri yang bisa saja berbeda haluan dengan pemerintah kolonial maupun pribumi. Media massa saat itu umumnya kepunyaan mereka. Sehingga dapat dilihat kepentingan mereka lewat media massa saat itu.

Mereka tidak berada di pihak pribumi maupun pemerintah kolonial. Mereka mempunyai kepentingan sendiri yaitu untuk keberlangsungan hidup mereka. Posisi mereka akan terancam jika orang Eropa Belanda yang didatangkan lagi ke kota Padang bertambah. Hal itu membuat kesempatan kerja mereka semakin kecil karena kedatangan orang Belanda tersebut. Sehingga mereka perlu menggiring opini dan memengaruhi kebijakan pemerintah kolonial demi keberlangsungan mereka.

Si Rancak & Si Patai: Kriminalitas di Kota Padang

Si Rancak dan Si Patai merupakan tokoh kriminal pada masa Hindia Belanda. Pemerintah kolonial di kota Padang tentunya menghadapi kasus-kasus kriminal di kota tersebut. Jika ada kota maka disitu ada kriminalitas. Si Rancak dan Si Patai melakukan perlawanan pada pemerintah Hindia Belanda di Padang. Keduanya memiliki latarbelakang berbeda dalam membuat onar pada Belanda.

Si Rancak dikisahkan sebagai Robin Hood-nya Padang. Dia dikenal sebagai salah satu pendekar yang membela rakyat padang yang tertindas oleh Belanda. Pajak yang tinggi pada saat itu menjadi salah satu faktor perlawanannya. Lain dengan Rancak, Si Patai tidak begitu jelas motivasi kriminalnya. Si Patai memang dikenal sebagai pendekar sakti yang selalu membuat onar dan juga pusing polisi. Beberapa kali dia melakukan pemberontakan dan gagal lalu akhirnya dieksekusi mati.

Foto jasad si Patai yang diarak keliling kota
Sumber: jpnn.com

Terhapusnya Regen & Raja Terakhir

Pada masa Hindia Belanda terdapat pejabat daerah yang disebut Regen. Regen merupakan jabatan pribumi tertinggi di tanah Minangkabau. Jabatan tersebut mulai dikenalkan saat pemerintah Belanda memerlukan bantuan pribumi dalam menghadapi gerakan Pidari. Tepatnya pada bulan Desember 1825 saat pemerintahan Gubernur Ridder de Stuers.   Regen terakhir Padang ialah Marah Uyub yang diberhentikan dengan hormat pada 26 Maret 1910.

Selain itu terdapat juga tokoh Raja. Pagaruyung merupakan daerah raja-raja. Raja terakhir menurut Amran ialah Raja Burhanuddin cucu dari Sutan Alam Bagagarsyah. Dia memang tidak selalu tinggal di Padang. Dia justru wafat di Batavia pada bulan September 1902. Penghargaan banyak diberikan pemerintah Belanda kepadanya karena jasa-jasanya dalam membantu Belanda.

Jabatan di Kota Padang

Jabatan-jabatan selain regen seperti penghulu kepala, kepala laras, menjadi jabatan populer di kota Padang. Tunjangan yang diberikan Belanda begitu tinggi sehingga terjadi perebutan pengaruh untuk mendapatkan jabatan itu. Sayangnya walaupun Belanda melaksanakan pemilihan yang dianggapnya dengan dasar adat, tetapi hasilnya suka-suka Belanda. Bahkan jabatan-jabatan yang dianggap adat tersebut seharusnya dilanjutkan dengan kemenakan. Tetapi Belanda malah memilih sesukanya.

Banyak orang yang sudah membantu Belanda merasa kecewa dengan hal itu. Salah satunya adalah Tuanku nan Tinggi, Kepala Laras VIII Koto yang mengharapkan kemenakannya, Nurdin Sutan Rajo Mudo menggantikannya. Usaha yang dilakukan sia-sia karena Belanda tetap pada pilihannya sendiri.

Orang Jawa di Kota Padang

Masyarakat Jawa diketahui lebih dulu merantau ke Sumatera Barat daripada orang Minang ke Pulau Jawa. Kebanyakan dari masyarakat Jawa yang ada di Padang pindah dikarenakan pekerjaannya. Entah itu sebagai dokter, buruh, pegawai ataupun mengikuti majikan, semua itu terkait pekerjaan mereka.

Selain itu terdapat juga orang Jawa di Padang karena dibuang/diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Narapidana dari Jawa juga turut dipindahkan ke penjara di Padang. Mereka dipekerjakan sebagai buruh tambang dengan leher dirantai, dan mereka dikenal sebagai “orang rantai”. Masyarakat Jawa umumya bermukim pada satu tempat yang nantinya akan disebut sebagai Kampung Jawa di Padang.


Dalam sejarah Kota Padang tentunya banyak dinamika yang dialami kota terbesar di Sumatera Barat ini. Ada tujuan penting Rusli Amran menyusun buku tersebut. Ia menginginkan kota Padang punya sejarah tertulis sendiri. Selain itu dengan adanya buku tersebut dia berharap sedikit menambah pengetahuan tentang identitas kota Padang. Dia juga mengajukan tanggal untuk hari jadi kota Padang. Rusli Amran seakan-akan ingin memberikan contoh akan pentingnya sejarah untuk mengetahui identitas sendiri.

Oleh Ahmad Zainudin
Jakarta, 2017


Sumber:

Amran, Rusli. Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: CV. Yasaguna, 1988.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dakwah Islam di Indonesia dan Dakwah Era Kemerdekaan

Politik Isolasi Jepang Pada Masa Pemerintahan Tokugawa

Sejarah Flu Burung di Dunia