Budaya Austronesia-Melanesia di Tanah Maluku

Timur Indonesia merupakan daerah yang banyak sekali memiliki hal-hal unik di dalamnya. Hal itu seperti keanekaragaman hayati, geografi, dan juga kebudayaannya. Sayangnya, dalam pembahasan sejarah Indonesia ‘Dunia Timur’ ini jarang sekali dimunculkan sebagaimana wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Mungkin saja itu dikarenakan wilayah timur Indonesia (Papua) terlambat bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Tetapi karena wilayah timur Indonesia itu ilmu tentangnya terbatas mengakibatkan pada disintegrasi bangsa dalam negara Indonesia ini. Kecemburuan akan wilayah Barat yang lebih diperhatikan dan dipelajari menjadi berpotensi munculnya gerakan separatisme. Padahal terdapat banyak hal yang menarik yang diambil dari wilayah timur Indonesia ini. Hal-hal menarik terkait kebudayaan hasil perpaduan dari budaya Melanesia di timur dan Austronesia di Barat dapat ditemukan di tanah Maluku. Perpaduan budaya tersebut akan dapat kita ketahui dengan melihat seperti apa budaya Melanesia dan Austronesia yang dibandingkan dengan budaya yang ada di Maluku dan juga kondisi mulai dari mitos sampai rumpun bahasa.

Maluku & Maluku Utara
Sumber: Wikipedia.org

Melanesia dan Austronesia merupakan konsep kebudayaan yang diidentifikasi penamaannya berdasarkan rasnya. Melanesia mengartikan tentang orang hitam yang berasal dari kata mesos yang berarti hitam dan nesos yang berartikan pulau. Budaya Melanesia tersebar di timur Indonesia. Konsep Melanesia ini terkait dengan imigrasi nenek moyang orang Asia Tenggara (termasuk Australia dan Selandia Baru) yang berasal dari Afrika. Orang-orang yang terlihat seperti ras negroid dapat kita temukan di timur Indonesia seperti di tanah Papua dan Nusa Tenggara Timur.

Austronesia sendiri merupakan konsep kebudayaan yang diidentifikasikan sebagai milik ras berkulit kuning/langsat/cokelat dan rambut lurus. Proto-Austronesia diperkirakan telah lebih awal mendominasi Nusantara pada abad 4000-3000 sebelum Masehi. Austronesia dalam lingkup daerahnya merupakan kelompok manusia yang  memiliki kesamaan budaya dan bahasa yang tersebar dari Madagaskar sampai dengan Kepulauan di lautan Pasifik. Alfred Rusell Wallace (1869) menyebutkan bahwa kedua konsep kebudayaan tersebut sebagai “Melayu” dan “Papua” sebagai ras, penyebutan yang betul berdasarkan ras tetapi tidak dapat menjelaskan tentang pertukaran budayanya.

Maluku merupakan wilayah timur Indonesia yang tersentuh budaya Austronesia dan Melanesia. Kita dapat melihatnya secara kasat mata orang-orang Maluku seperti campuran dari ras Melayu dan Papua. Secara ras mungkin saja kita dapatkan titik temunya dan suatu pertemuan budaya itu di Maluku terjadi yang nantinya memberikan konsep pertemuan budaya yaitu Austronesia-Melanesia. Letak Maluku yang seakan-akan berada di tengah kebudayaan tersebut membuat Maluku menjadi tempat pertemuannya. Kita mengetahui bahwa di sebelah barat Maluku adalah wilayah Sulawesi yang termasuk dalam kebudayaan Austronesia dan di sebelah barat Maluku merupakan wilayah dengan budaya Melanesia yang kuat, yaitu Papua.

Maluku sebagai wilayah dengan Austronesia-Melanesianya akan menarik jika ditelusuri sejarahnya terkait kebudayaan tersebut. Kita dapat menelusuri bagaimana maritim memengaruhi pertemuan budaya dan menghasilkan budaya yang ada. Kita juga dapat melihatnya dari aspek kesenian yang nantinya akan memberikan pemahaman tentang peran kelompok-kelompok sosial dalam memengaruhi suatu budaya di Maluku. Indonesia yang majemuk ini tentunya akan banyak memberikan penjelasan tentang pembentukan budaya dan juga proses dari luar maupun dalam yang memengaruhinya. Maluku memiliki pembagian wilayah yang terdiri dari 4 (bedasarkan gunung) yaitu Bacan, Jailolo, Ternate, dan Tidore yang pembagian kesemuanya disebut Maluku kie-raha. Sebenarnya terdapat 5 gunung dengan tambahan Loloda yang nantinya disebut Maluku ram tu raha. Terdapat empat karakter kebudayaan yang ada di Maluku: mitos asal-usul; jaringan maritim, pulau tenggalam, perahu terdampar, masyarakat campuran; koreri, cargo cult; dan Raja Asing (Stranger King).

Ribuan tahun yang lalu, pertemuan masyarakat Austronesia-Melanesia dapat kita lihat dari bidang maritim dan pertaniannya. Benda-benda yang dihasilkan oleh masyakarat Austronesia-Melanesia yaitu antara lain tembikar, manik-manik, kapak batu, dll. Penemuan tembikar “Lapita” memunculkan teori identitas pembuatnya dengan pendekatan kajian bahasa (Oppenheimer, 2010:220 dalam Zuhdi, 2017). Tembikar yang dibuat diperkirakan pada 6000 sebelum Masehi yang ketika itu masyakarat Melanesia memiliki kesamaan dengan budaya Lapita. Jika kita melihat di Asia Tenggara terdapat masyarakat yang bericiri ras Negroid tetapi seperti tidak ada bedanya dengan Melayu. Kita dapat temukan hal itu di Semenanjung Malaya, yaitu orang Semang dan juga di Filipina yang terdapat orang-orang berciri negro.

Mitos yang ada pada masyarakat Maluku pada asal-usul kehidupan yang berasal dari telur (myth cosmic eggs). Mitos munculnya sinar terkait bencana seperti banjir, pulau tenggelam, perahu terdampar juga terdapat di Maluku. Terkait dengan asal-usul munculnya kerajaan-kerajaan di Maluku juga terdapat mitos bahwa Raja Bacan, Jailolo, Papua, dan istri Raja Loloda lahir dari 4 telur ular yang menetas yang mitos ini dinamakan mitos Bikusigara. Mitos telur kosmis (The Myth of Cosmic Eggst) tersebut menjelaskan asal-usul orang-orang besar di wilayah itu. Mitos Bikusigara merupakan mitos yang diambil dari kisah seseorang yang menjelajahi Pulau Bacan. Dikisahkan orang tersebut mengelilingi Pulau Bacan dan menemukan 4 telur besar semak belukar. Ia menjaga telur tersebut yang nantinya akan menetas dan menjadi orang-orang besar. Merekalah Raja Bacan, Papua, Butun-Banggai, dan seorang istri dadi Raja Loloda. Mitos dari Kepulauan Kei mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari telur ikan (Wuut Ainmehe Infun) dan telur burung (Wuut Ainmehe Tilor). Mitos-mitos ini pernah dijadikan bahan sebagai peredam konflik pada 1999-2000.

Selain itu terdapat juga mitos banjir tentang 7 anak Sri Maharaja Bacan yang terpencar dan hilang, kecuali anak tertua Raja Bacan. Cerita itu berbunyi “hujan ribut gelap gulita dan kilap banjir air pon penoh benar besar, segala batu-batu yang besar pon terbongkar dari dalam tanah dan gunung-gunung semuanya” (Lapian, 1993 dalam Zuhdi, 2017). Diceritakan enam anak Sri Raja menghilang kecuali anak tertuanya. Dua kakak-beradik lainnya menjadi raja di Misol dan Waigeo, Papua. Sedangkan anak Sri Raja lainnya menjadi raja Banggai dan Loloda.

Mitos tentang pecahnya telur kosmik memiliki kesamaan dengan mitos yang ada di kepulauan Pasifik. Pada masyarakat kepulauan Pasifik terdapat kepercayaan bahwa langit dan bumi terpisah karena pecahnya telur kosmik. Mitos tentang pecahnya telur kosmik yang mengawali kehidupan dan sinar terang juga terdapat pada kepercayaan tentang asal-usul bangsa Fenisia. Di Tanimbar terdapat mitos Atuf yang menceritakan bahwa Atuf menombak matahari menjadi tiga bagian. Tiga bagian tersebut adalah matahari, bulan, dan bintang-bintang. Mitos tersebut juga mirip dengan mitos yang ada di Asia Timur.

Orang Bacan berkaitan erat dengan pencampuran budaya Melayu (Austronesia). Hal itu dikarenakan migrasi Melayu dari barat ke timur Nusantara. Masyarakat Bacan juga memiliki hubungan dengan masyakarat Papua. Hal itu memungkinkan bertemunya dua budaya yaitu Austronesia dan Melanesia. Bacan memang mempunyai peran dalam pertemuan kedua budaya karena Bacan mempunyai hubungan dengan Melayu di barat dan Papua di timur. Selain itu, tradisi kerajaan Papua juga memiliki peranan dalam perkembangan budaya Melanesia di Tidore. Tidore memang mempunyai hubungan dengan Papua. Legenda-legenda yang ada di Biak menyebutkan bahwa wilayah barat disebut sebagai asal dari kekuasaan dan kekayaan.

Terdapat kesamaan yang dapat ditemukan antara budaya di wilayah timur Indonesia dengan budaya yang ada di wilayah kepulauan Pasifik. Maluku merupakan salah satu wilayah timur Indonesia yang dimaksud tersebut. Perbandingan kebudayaan kepulauan Pasifik dapat bermanfaat sebagai penjelas tradisi dan budaya yang ada pada masyarakat Maluku. Selain itu, memahami budaya kepulauan Pasifik dapat menjelaskan evolusi kebudayaan yang ada di Asia Tenggara. Dengan begitu, tentunya kita dapat pahami bahwa Maluku adalah tempat pertemuan budaya Austronesia-Melanesia.

Ahmad Zainudin
Jakarta-Depok, 2017

*Sumber diambil dari Seminar “Perjumpaan Budaya Austronesia-Melanesia di ‘Dunia Maluku'” yang diselenggarakan pada Kamis, 20 April 2017 dengan narasumber Prof. Susanto Zuhdi dan Prof. Edi Setyawati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dakwah Islam di Indonesia dan Dakwah Era Kemerdekaan

Politik Isolasi Jepang Pada Masa Pemerintahan Tokugawa

Sejarah Flu Burung di Dunia